Wednesday, November 08, 2006

Ibu Widia in memoriam

WIDIA SOERJANINGSIH SEMUA BERAWAL DARI NOL -Diambil dari Milis Advertising_Indonesia- Mungkin banyak yang tahu, Universitas Bina Nusantara (UBiNus) adalah salah satu perguruan tinggi ternama di Jakarta, bahkan di Indonesia. Universitas pertama yang meraih Sertifikasi ISO-9001 ini memiliki lebih dari 20 ribu mahasiswa, 700 dosen, tiga kampus yang megah, meraih penghargaan "The Best Indonesian Net Company" dan belakangan punya citra sebagai cybercampus. Tapi barangkali sedikit yang tahu bagaimana seorang Widia Soerjaningsih dan ayahnya (alm) Wibowo, mengawali dan membangun universitas ini dari sebuah kursus komputer di teras rumah. UBiNus benar-benar diawali dengan modal ide dan keberanian belaka. "Jangan khawatir, pokoknya kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kita bisa mulai dari kecil, ke sananya maju terus," demikianlah cara Wibowo menempa semangat putrinya. Tapi, bagaimana bisa sebuah kursus komputer berkembang sedemikian pesat hingga menjelma menjadi universitas besar? Barangkali salah satu faktornya adalah karena pada masa 70-an, bidang garap teknologi komputer masih jarang dilirik dan dikuasai orang. Justru yang menarik, awalnya lembaga pendidikan ini dibangun dengan prinsip 'asal kelasnya penuh' dan 'pelanggan puas'. "Prinsipnya begitu mereka mau mendaftar, saya harus melayani mereka dengan baik. Tidak ada target apa-apa, yang penting setiap kelas harus penuh," tutur Widia yang lahir 19 Oktober 1950 di Malang itu. Dengan prinsip demikian, diakui Widia, semula UBiNus tumbuhan biasa- biasa saja. Begitu tujuan-tujuan berhasil didefinisikan, tim yang dipimpinnya merapatkan barisan dan target-target dikejar, laju perkembangannya pun makin pesat. Tak kalah penting adalah adanya visi ke depan yang begitu kuat, profesionalisme dalam mengelola manajemen perguruan tinggi, serta jiwa entrepreneurship yang diwarisi Widia dari sang ayah. Maka, tak berlebihan jika di dunia pendidikan tinggi di Indonesia, rektor UBiNus ini adalah salah satu sosok yang layak dijadikan teladan. Widia yang menikah dengan Eko Atmo Budi Santoso ini, berhasil mengawinkan antara idealisme dunia pendidikan dengan sistem pengelolaan bisnis profesional. Tak heran jika pada 2002 lalu ia dinobatkan sebagai The Famous Business Woman dan The Best CEO versi Majalah SWA dan MarkPlus. Nah, spirit apa yang membawa ibu dari Stephen (25), Francis (22), dan Patrice (18) ini ke tangga kesuksesan hingga sekarang? Simak wawancara eksklusif Widia Soerjaningsih dengan Edy Zaqeus dari InMagz.Com di gedung rektorat UBiNus Jl KH Syahdan 9, Kemanggisan, Jakarta berikut ini: Bagaimana sejarah awal berdirinya Universitas BiNus ini? Saya lulus S-1 bidang elektro, tapi bidang yang paling menarik adalah komputer. Lalu kerja praktek di IBM tiga bulan, sesudah itu pernah kerja di Pertamina tahun 1973. Saya kemudian terinpsirasi oleh idenya Pertamina. Pada waktu saya kerja, plan Pertamina memang untuk membuat Achademy of Computer Technology. Zamannya Pak Ibnu Sutowo itu tahun 1973. Kita direkrut untuk menyiapkan teaching staff. Karena pengalaman saya belajar di IBM, saya disuruh mengajar teman-teman yang dikumpulkan untuk menjadi guru di fakultas teknik. Ngajar segala macam bersama kawan-kawan dari (Universitas) Trisakti. Sempat setahun di sana. Pas saya berhenti itu Pertamina mulai agak jatuh. Saya berhenti dari Pertamina bukan karena itu, tapi karena ditarik Trisakti kembali. Karena adik harus masuk perguruan tinggi, dari keluarga ndak ada biaya, jadi saya punya tugas. Saya kerja di Trisakti, adik masuk. Terus sambil lalu, karena punya pengetahuan komputer, coba usaha di Trisakti kursus komputer bersama teman-teman. Adanya di Trisakti, awalnya itu....wah banyak muridnya. Tapi biasalah, kalau kita masih muda, apalagi seumur membuat usaha bersama, akhirnya nggak bisa langgeng. Usia Anda berapa waktu itu? Ya, di umur-umur S-1 berapa yah...sekitar 24. Kemudian dari situ sempat kita jalankan satu biro diklat. Dapat muridnya banyak. Dulunya mahasiswa menganggap komputer susah, kan? Tempatnya di Trisakti waktu sore, dan memang karena membawa korps pesertanya banyak. Yang mengamati langkah ini ayah, Pak Wibowo almarhum. Begitu saya selesai kuliah, dari semua pengalaman tadi, kayaknya ada potensi untuk dijual... Kebetulan ayah memang orang wirausaha. Sudah, disuruh buka kursus sendiri. Padahal anak-anak lulusan S-1 mana mau ya disuruh begitu? Maunya cari kerja ya? Karena berpikir lulus S-1 bisa apa sih? Padahal kalau kita kerja sama orang, kita masih diajari, kan? Anak- anak yang baru lulus biasanya pandangannya seperti itu. Saya ya sama waktu itu. Makanya, disuruh kerja sendiri..."Wah saya harus belajar pada siapa nih?" Ilmunya mentok, begitu kalau dipikir. Tapi waktu itu berani juga? Ya, karena saya termasuk yang nurut. Ya sudahlah, ndak usah kerja sama orang. Kalau kerja sama orang bisa stug, naiknya pun pelan. Tapi kalau kerja sendiri, yang pasti kalau mau naik bisa tergantung usaha kita. Sudah, saya didukung menjalankannya. Akhirnya bagi tugas, saya bagian akademik, ayah bagian pemasaran dan perizinan. Dan kita mulainya di muka rumah, di teras. Rumah di Grogol, Jl Makaliwe I No.10. Yang sampai sekarang akhirnya kita beli sebagai apa....momentum, biar pun kita belum bangun sampai saat ini. Kita terima malah rumah itu ndak ada tutup, kecil ruangannya cuma dikasih bangku-bangku. Paling banyak menampung 15 orang. Strategi pemasaran kita lakukan door to door, murah meriah ya... ke tetangga-tetangga banyak mahasiswa, kan? Yang kos itu anak Trisakti, anak Untar. Kebetulan memang di kampus Trisakti, komputer itu menjadi momok mahasiswa. Ekstranya, ini logicalnya gimana sih? Menata logical berpikir, kan itu? Kalau nggak bisa nangkap, kan bingung mau mulai dari mana? Tapi ternyata pesertanya ndak hanya mahasiswa. Banyak juga orang-orang dari perusahaan. Cuma saya tahunya belakangan, "Saya dulu belajar di situ". Tahun 1974 kita mulai. Di awal pendirian kursus itu, apa hambatannya? Hambatannya itu dari segi saya yang memulai, otomatis antara percaya dan tidak percaya, bisa saya jalankan nggak? Itu pertama. Tapi karena didorong terus oleh ayah, akhirnya ya sudah.... Kebetulan prinsip saya, kalau saya melangkah saya harus melangkah lebih baik. Itu prinsip yang saya lakukan. Jadi ndak pernah mundur kalau sudah berani melangkah. Itu semangatnya yang menang. Hambatannya, saya tidak berpikir banyak hambatan karena saya juga tidak mempunyai suatu ambisi yang terlalu terang-terangan. Jadi kalau kelasnya penuh, berhasil! Iya, kan? Yang penting biaya hidup keluarga tertutup ha..ha..ha.. Dan memang kehidupan keluarga kita digantungkan ke tangan kita. Prinsipnya begitu mereka mau mendaftar, saya harus melayani mereka dengan baik. Tidak ada target apa-apa, yang penting setiap kelas harus penuh. Itu saja target minimal ya? Kita sudah pakai nama Modern Computer Course, terkenal dengan MCC waktu itu. Dari namanya sudah bagus lho...modern ha...ha...ha... Itu visi ayah. Mengapa waktu itu memilih usaha bidang pendidikan, bukan usaha yang lain? Sebenarnya di luar usaha pendidikan, karena ayah seorang wirausaha, itu segala macam usaha pernah dilakukan. Waktu kita kecil, ayah usaha di bidang distribusi, mengambil barang dari pabrik lalu dijual ke toko-toko. Lalu pernah jatuh karena ayah ditipu cek kosong waktu itu. Ibu juga sudah mulai dengan wirausaha makanan. Jadi segala usaha sudah dilakukan. Terus ayah melihat potensi saya ada, "Ya, udah...kamu jadi guru saja!" Jadi saya sendiri tidak berpikir ke usaha yang lain. Karena saya pikir, saya bisanya ya itu. Dari sebuah kursus, lalu bagaimana cara mengembangkannya hingga menjadi besar? Jadi kita mulai dari rumah, paling punya tiga shift, pagi, siang, malam. Begitu mulai penuh, saya mulai berpikir kenapa tidak dibesarkan (kelasnya). Tapi kalau itu kan kita perlu uang? Uangnya dari mana? Ayah bilang, "Jangan khawatir, pokoknya kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kita bisa mulai dari kecil, ke sananya maju terus". Beliau berpikir untuk kerjasama dengan panti asuhan di Kramat Raya. Kita main ke sana terus kita bilang, "Kita punya ide ini, bagaimana kalau kita share, bagi hasil?" Akhirnya kita mulai, pokoknya semua pekerjaan kita yang lakukan, nanti dari hasil kalau kita punya hasil yang lebih, hasilnya kita bagi dua. Kita berpikir kalau kita lakukan itu, ada suatu nilai sosial yang kita tanam. Jadi di samping usaha, ada yang kita bantu, panti asuhannya. Filosofinya itu, dan mudah- mudahan mendapat rahmat Tuhan. Kebetulan ayah juga orang yang sosial. Perkembangan berikutnya? Kalau di Kramat Raya kelasnya paralel, kalau yang diteras rumah saya sendiri yang ngajar. Lalu untuk dibesarkan sebagai sekolah, kelasnya harus bisa paralel. Berapa pun murid harus bisa ditampung. Jadi filosofinya itu bagamana supaya kita bisa memenuhi ruangan. Jadi awalnya kita punya empat ruangan. Tapi benar.... mungkin karena misi sosialnya ada, perkembangannya cepat. Kebetulan sekali tarifnya juga murah. Orang mulai ingin tahu komputer itu apa sih? Jadi banyak sekali yang hadir dan gurunya bukan saya sendiri akhirnya. Karena saya pernah bekerja di Pertamina, saya tarik teman-teman. Murid-murid di Pertamina sudah calon guru, kan? Lalu dari situ maju-maju, walau ada hambatan. Hambatannya waktu itu pada saat kita belajar, kita menarik guru dari tempat yang sama. Jadi sempat goyang oleh tuntutan kelompok yang kuat, menuntut suatu kondisi yang lebih baik. Waktu itu kita waduh... berat juga kalau bentuk seperti ini diikuti, lain kali diulang lagi, ya? Tapi ya sudahlah kita mundur, mereka yang main-main seperti itu ndak usahlah, kita cari staf lain. Dari situ kita belajar untuk mencari tenaga tidak dari satu tempat. Akhirnya kita hubungi Departemen Keuangan dan departemen pemerintah lainnya, banyak yang sudah belajar komputer, kan? Lalu berjalan, makin banyak muridnya, lalu mereka pada bertanya, "Mengapa bentuknya kursus-kursus? Kami belajar dapat pengetahuan, tapi kami tidak mendapat status sosial yang lebih baik?" Kebetulan yang ngambil itu benar-benar anak yang lulus SMA yang dia tidak ngambil perguruan tinggi. Beda dengan yang saya mulai di Grogol, anak-anak mahasiswa yang sudah punya status sosial. Jadi kalau di Kramat Raya itu umum banget. Jadi anak-anak SMA yang tidak bisa bayar kuliah masuk ke sana. Itu yang mentriger kita buka akademi saja. Dan kebetulan ayah termasuk tipe orang yang apa pun kalau dia ditantang, ditangkap. Itu gaya wirausahanya, "Mana...? Kita buka saja akademi komputer!" Kapan dimulai? Sekitar 80-an, ya kita mulai akademi tahun 1981. Saya bilang...waduh...masih mikir-mikir. Lebih banyak perhitungan. Sulit dong minta akademi? Karena dari pengalaman di Trisakti, saya pernah bekerja di sana, banyak sekali mahasiswa demo. Mulai 1974-1980 itu banyak sekali demo, Malari dan semacamnya itu ya. Karena itu saya bilang, waduh! Saya paling takut kalau didemo mahasiswa ha..ha..ha... Sampai sekarang masih takut? Kalau sekarang tidak. Karena kita belajar banyak dalam pertumbuhan. Waktu itu sempat terpikir, "Waduh... bagaimana kalau anak-anak yang tidak tahu filosofi apa-apa tiba-tiba menuntut sesuatu?" Kalau soal perizinan kita sudah pengalaman sekian tahun. Tapi ayah kan selalu pantang menyerah. "Jangan khawatir, pokoknya apa yang kamu tidak bisa sebutkan, saya yang akan lakukan". Akhirnya benar, dicarikan seorang tokoh pembina, saya anggap sebagai guru saya juga, yang waktu saya masih SMA dia tokoh organisasi mahasiswa. Dia posisinya sebagai direktur kemahasiswaan. Ini strategi ayah. Pokoknya kelemahan saya dilengkapi ayah. Ya, sudah saya tidak mikir lagi, tabrak saja. Begitulah 1981 kita mulai akademi. Hambatannya kalau mahasiswa berkelompok seperti itu. Hambatan lain tetap keuangan. Tapi karena orang-orang buka usaha itu jiwanya pokoknya jangan takut apa pun. Kalau masih bisa didefinisikan, pasti bisa diselesaikan. Begitu bisa didefinisikan, akhirnya ada titik terang. Nah, masalah gedung ayah bilang, "Dalam dua hari saya akan jawab!" Benar. Begitu saya bilang itu, langsung dia main ke tempat Akademi Teknik Komputer yang pertama kita dirikan. Main ketemu pemiliknya, nggak kenal, tabrak aja! Kita nggak punya uang datang ke situ. Ada gedung kosong di belakang yang nggak dipakai, kita bilang "Boleh nggak kita pakai gudangnya?" Ya, kita nggak muluklah nggak pakai gedung yang bagus, seadanya saja. Nah, kita sudah punya tempatnya. Akhirnya kita nggak bisa mundur. Saya desain kurikulum, termasuk konsep-konsep administrasi. Dari segi kurikulum, berpikirnya sederhana. Bahannya dari mana, karena waktu itu belum banyak acuan? Belum ada. Mungkin akademi komputer sudah ada Budi Luhur yang duluan tahun 1978, kita mulai 1981. Jadi kita hanya ada sedikit gambaran. Karena itu para siswa kursus kita melihat ke situ, "Kami lebih kok dari mereka, kenapa kita nggak muncul?" Semangat siswanya seperti itu. "Ya, sudah kalau kalian percaya kita coba". Jadi kurikulum kita rancang dengan pendekatan pengetahuan yang mana saya harus bisa memuaskan semua. Paling mudah, kan? Kalau sampai ada guru yang tidak hadir, saya datang, saya selalu menjadi pengganti. Saya pikir kalau ini perguruan tinggi, ada dosen tidak datang, karena kita ingin melayani mahasiswa, kan saya harus turun? Semua mata kuliah saya tawarkan. Amankan? Saya sendiri tidak turun mengajar, hanya kalau ndak ada gurunya saya yang ngajar sekali-sekali. Benar, 1981 kita mulai, lalu kita rekrut teman-teman dari Trisakti untuk jadi dosen. Tapi saya tidak ambil angkatan saya, tapi angkatan adik saya. Apa alasannya? Tidak tahu, ada suatu feeling yang mengatakan, mungkin saya lebih mudah mendorong anak-anak yang lebih muda dari saya, daripada teman sebaya. Jadi saya rekrut adik-adik angkatan saya. Tapi masalah di tahun-tahun pertama di kampus ini, tiga orang tenaga pengajar tadi berkirim surat kepada saya, mengundurkan diri. Tiga-tiganya hilang, padahal mereka pengajar inti dan hebat-hebat. Tapi sudah karakter saya, kalau ada masalah harus bisa diselesaikan. Ya, tapi saya tidak berusaha menarik. Saya kalau sudah dibuat seperti itu, ya sudah. Akhirnya saya turun ke seluruh mahasiswa, saya sampaikan jangan khawatir kita jalan terus, saya ngajar sendiri. Mengajar berapa kelas? Waktu itu kita hanya mengendalikan dua ruangan, jadi minimal saya harus punya satu partner. Tapi dari guru yang lain, guru part time, kita masih punya. Akhirnya kita menggunakan part time untuk mencari pengganti. Itu pengalaman yang nggak boleh diulang. Kapan mengalami percepatan pertumbuhan dan apa faktor-faktornya? .... Jadi kalau dari awal, langkah yang kita lakukan adalah berbuat sebaik mungkin melayani para siswa. Itu strategi yang saya lakukan. Karena itu tumbuhnya pelan. Sampai suatu saat tahun 1995, kita punya mahasiswa tujuh ribu, gedungnya kita baru punya satu yang lengkap. Itu pun dibangun mulai 1984, tiap dua tahun kita menambah ruangan sampai 1995. Kita mulai program S-2 tahun 1993 sebagai suatu program untuk mengangkat image, otomatis kita harus merekrut orang yang lebih baik. Kemudian belajar memenej teman-teman yang pengetahuannya di atas saya. Nggak gampang juga, susah juga! Biasanya teman-teman di atas kita, kalau ditarik dia langsung positioning diri, kan? Dari sisi lebih pengetahuannya oke, karena kita undang memang karena itu. Tapi kadang ada satu rasa sombong yang mengakibatkan mereka lupa, dengan meremehkan organisasi kita yang lebih besar. Ini sempat terjadi. Padahal ini adalah dosen yang kita didik melalui beasiswa dinas. Itu kegagalan pertama kita menentukan resource. Kita kirim ke luar negeri untuk S-3 tapi gagal. Itu hampir membalikkan organisasi kita, sehingga terpaksa kita lepas. Pada saat itu saya bertemu teman yang mempunyai filosofi berbeda dengan approach yang saya pakai. Kawan ini bilang, "Kalau kita ingin maju kita harus tentukan ujungnya dulu, sasaran". Kalau saya kan didorong dari bawah. Jadi kalau kawan ini, ditentukan sasarannya dulu, terus kita uber. Sehingga sejak 1995 itu mulai lebih cepat. Sekitar enam tahun berikutnya, dari 7 ribu mahasiswa menjadi 22 ribu. Ini karena strategi teman tadi yang kita pakai. Siapa saja yang mendorong kemajuan tersebut? Tim inti kita sekarang. Jadi filosofi yang saya belajar dari kawan- kawan ini adalah kalau mau melakukan sesuatu, lakukan sesuatu yang besar sekaligus karena capeknya sama. Jangan yang biasa-biasa. Apa inti strategi Anda sehingga bisa membangun universitas yang pesat perkembangannya? Kita memang punya tim inti. Di dalam tim tadi kita selalu mendorong bahwa sebenarnya kita punya visi. Visi kita adalah menjadi panutan. Terus pada waktu diskusi, yang disebut panutan itu apa? Harus bisa jadi contoh kan bagi yang lain? Mengukurnya bagaimana? Nah, kita harus membuat langkah yang berbeda dari kawan-kawan lain. Langkah pertama yang kita lakukan adalah ISO. Jadi memakai bakuan mutu ISO 9001 tahun 1997. Pesannya, kita harus beda dengan kawan-kawan lain. Kalau berbeda harus inovasi, kan? Padahal awalnya kita ISO baru belajar. Tapi berani dululah. Setelah berjalan, ISO itu benar-benar suatu konsep yang bagus. Karena digunakan oleh banyak usaha dan perusahaan. Konsep berpikirnya bagus dan indah sekali. Antara lain disampaikan, 'tentukan sasaran yang ingin Anda capai', 'semua sasaran harus bisa diukur', 'apa yang Anda tulis harus bisa dilaksanakan'. Kita belajar banyak dari konsep itu, bahwa kita tidak boleh berjanji sesuatu yang kita tidak bisa berikan. Karena itu bisa menjatuhkan kita. Kita harus menanamkan kepercayaan kepada pelanggan. Kalau kita janji A, harus diberikan A, dan semuanya harus bisa diukur. Dari situ kita menerapkan konsep-konsep yang berbeda dari kawan-kawan lain, misalnya pertemuan dalam suatu kelas. Kita define per kelas dalam satu semester, dan kalau ada dosen yang tidak masuk, kita harus bisa uber sampai ada kelas. Kalau perlu hari minggu kuliah. Sekalian ini menanam konsep kepada mahasiswa, kalau dia dirugikan, dia boleh berteriak kepada kita. Karena ini alat kontrol, mereka harus berteriak. Memang babak belur. Babak belurnya? Babak belurnya, teriakan tahun pertama itu tidak di sektor akademik saja. Wah...gila juga ini! Kita sudah berusaha merapikan bagian akademik, teriakannya di bagian-bagian lain. Keseluruhan akhirnya. Berarti tantangan bagi kita untuk bisa memuaskan para pelanggan kita di semua sektor. Itu kan input? Dulu kita tidak berpikir sejauh itu. Jadi itu yang menarik, sehingga kita belajar. Itu yang mendorong kita. Akhirnya kita membuat suatu plan yang bisa kita definisikan. Begitu tim berani mendefinisikan, tugas saya nguber tim. Tidak terasa itu tercapai, yang mengakibatkan pelanggan percaya kembali kepada tim. Biar pun berat karena kita harus berubah. Kalau tahun ini kita lebih ingin mengubah konsep berpikir. Perubahan seperti apa kira-kira? Kalau kemarin ISO itu tentang tujuan dan sebagainya. Sekarang kita bisa seperti ini dan diakui masyarakat. Sehingga pengalaman yang kita rasakan ini, kita ingin turunkan secepatnya kepada para mahasiswa supaya mereka juga berhasil juga nantinya. Jadi memang di dalam perjalanan, katakan kalau ada demo mahasiswa saat ini, kalau di tempat lain pimpinan menghindar, ya. Rata-rata tidak mau menemui, kan? Kalau kita berpikir karena mereka ini mahasiswa timur, pasti mereka ingin menyampaikan sesuatu feedback. Kalau mereka ingin menyampaikan feedback kepada kita, kenapa kita ndak mau menemui? Justru kita harus cari secepat mungkin. Dan harus dididik mahasiswanya. "Kalau Anda mau demo boleh, tapi misi demonya apa? Menyampaikan kritik kepada kita, kenapa tidak bertemu kita?" Jadi filosofinya yang kita tanamkan. "Kalau Anda mau menyampaikan itu, ngapain pasang-pasang spanduk atau rame-rame di lapangan? Nggak sampai juga kalau saya tidak dengar, atau kalau saya pura-pura ndak dengar. Misinya kan mau menyampaikan, datang saja ketuk pintu. Anda mau ngomong atau Anda mau marah di sini juga boleh". Jadi filosofinya yang kita ubah. Dan cukup baik hasilnya. Mereka itu senang kalau didengar, ya? Begitu kita dengar, meskipun kita katakan "Sorry saya tidak bisa melaksanakan yang kamu minta...." Ndak marah juga. Mengapa kita takut? Salah satu keberhasilan lembaga ini adalah kerjasamanya dengan lembaga lain. Bagaimana Anda menjalankan strategi ini? Memang mengelola pendidikan itu bukan suatu proses yang begitu satu proses selesai, terus kita selesai, tidak ada after sales. Kalau di industri kan mereka pakai, begitu jual, ada after sales. Konsep perguruan tinggi kan nggak? Lepas dari perguruan tinggi itu urusan masing-masing. Dia tak berhasil ya dukamu, dia berhasil ya untungmu, begitu konsep umum, ya? Cuma kita berpikir, kalau mereka tidak berhasil, ya kita sedikit berdosa, kan? Artinya kita salah dong dalam mengarahkan mereka? Iya, kan? Jadi kita berpikir, minimal kita kasih senjata sedikit lagi dong! Yang harus kita lengkapi, yang dia kemampuan minimalnya secara cepat bisa sama dengan pasar. Karena itu kita mulai bekerjasama dengan Cisco, Microsoft, IBM, itu antara lain. Tujuannya adalah mentransfer pengetahuan-pengetahuan up to date yang mereka pakai di dunia usaha ini untuk bisa dikuasai oleh mahasiswa. Biar pun itu tidak masuk di kurikulum. Kurikulum kan kita bingung karena diatur pemerintah. Itu dipasang kan beban berat? Soal kurikulum dalam konsep Anda, apa saja yang perlu ditambahkan? Dari segi kurikulum kalau zaman dulu kan banyak diatur pemerintah. Tapi sekarang sudah banyak kelonggaran. Sehingga kita melihat, wah.... ini lebih mudah lagi untuk mencapai tujuan dan sasaran kita. Yang sebenarnya kita lakukan dalam kurikulum ini, akhirnya kembali ke prinsip lagi. Filosofi dasar yang harus kita tanam kepada mahasiswa adalah suatu pengantar untuk belajar. Apa pun ilmunya, jadi bagaimana cara kita mendidik mahasiswa tentang cara belajar untuk belajar. Ini yang tidak ada di dunia pendidikan. Sekarang ini yang saya lihat, karena banyak dosennya yang part time akhirnya 'pokoknya aku ngajar...ngerti sukamu nggak ngerti sukamu'. Dampaknya nggak ada inovation. Kondisi mahasiswa sekarang kalau tidak disuruh tidak jalan, nggak ngerti inovation. Belajar pun biasa dikebut dua hari, kalau nilainya tinggi ada kebanggaan. Makanya kita adakan perubahan total. Jadi konsepnya, materi tidak harus habis, yang penting cara belajarnya bisa tertanam. Sehingga mereka bisa belajar lebih banyak daripada apa yang kita berikan. Otomatis ya, semangatnya harus ditanamkan, cari bacaan sebanyak mungkin, cari informasi sebanyak mungkin. Kebetulan saya kemarin mencoba dalam kelas entrepreneur, capek! Capeknya, pada awal di kelas saya tanya, "Ini kalian masuk kelas entrepreneur karena Anda mau jadi entrepreneur atau karena dipaksa oleh sistem kita?". Dan jawaban mereka? Jawabnya, "Kami diwajibkan…" Wah, saya kecewa. Padahal saya mengorbankan waktu malam untuk mengajar mereka. Saya bilang, "Kalau Anda hanya untuk pengetahuan dan tidak untuk diterapkan, saya rugi!". Lalu saya balik, "Di akhir kelas saya ingin Anda mengubah konsep bahwa akhirnya Anda ingin jadi entrepreneur, karena Anda tahu semua cara entrepreneur itu bagaimana". Lalu kita kasih PR (pekerjaan rumah), otomatis dong, proses belajar kok. Apa yang harus Anda belajar, topiknya ini, belajar buku ini, cari dari internet ini, di kelas kita tidak ngajar. Saya anggap di kelas itu mereka sudah belajar, kita bicara suatu topik, tinggal mereka menentukan apa yang mau didiskusikan. Lalu saya undang para wirausahawan dan dunia industri, dan mereka boleh menggali sebanyak mungkin dari background pengetahuan minimal yang mereka pakai. Jadi pada awal bagaimana, perlu uang apa nggak, wirausaha, kan? Dan akhirnya mereka melihat bahwa teman-teman yang kita datangkan semuanya memulai usaha tanpa uang. Semua start dari zero. Maka begitu akhir kelas mereka membuat business plan, disuruh presentasi, sudah hebat-hebat. Nilai kita umumkan, lalu saya inginkan feedback; "Apakah Anda ingin jadi entrepreneur?" Semua bilang oke, malah ada yang sudah berpikir "Saya mau di industri ini, ini, ini…". Ada juga yang bilang, "Ini adalah proses belajar yang paling menyenangkan yang pernah saya alami…" Sudah bagus, kan? Padahal kita nggak ngajar, hanya skenario kita buat sedemikian rupa dan mereka sendiri yang belajar. Tapi dampaknya mereka merasa itu yang paling tinggi nilainya. Jadi memang prosesnya yang harus diubah di perguruan tinggi itu. Dunia pendidikan adalah dunia idealisme. Sementara pendidikan sendiri jika tidak dikelola secara profesional juga tidak jalan. Bagaimana Anda menyeimbangkan keduanya? Sebenarnya terpisah. Sisi idealisme kita bukannya membentuk lulusan istilahnya, tapi memvalue-added. Menanamkan suatu value added kepada mahasiswa yang masuk sehingga menjadi lulusan, itu adalah pengetahuan dan nilai-nilai. Itu yang kita tanamkan. Itu idealismenya. Jadi usaha yang kita lakukan dalam memenej pengetahuan yang kita tanam tadi, dan itu yang disebut bisnisnya ya, mengelolanya. Kalau kita compare, mengelola perguruan tinggi dengan mengelola bisnis itu sama. Tidak ada bedanya. Kan di situ ada faktor finance, ada faktor operasional? Bedanya, kalau di pabrik kan dia milih barang mentah dikelola menjadi barang jadi. Kalau di rumah sakit ya menyembuhkan penyakitnya. Kalau di kita kan hampir mirip dengan di rumah sakit. Umumnya kita menambah value, itu yang kita garap. Di bisnis sama, tidak beda ya? Makanya teman-teman banyak yang mengatakan, kalau mengelola perguruan tinggi dengan gaya bisnis itu seolah-olah berdosa. Banyak yang mengungkapkan demikian. Tapi kalau filosofinya bagaimana kita berusaha dengan profesional untuk supaya targetnya tercapai, sama (dengan bisnis: red). Kawan-kawan di dunia industri tetap bilang ini bisnis ya. Cuma bisnis yang muatannya lain? Ya, tetap ada suatu nilai idealismenya. Ya, memang harusnya bisalah. Ke depan, cita-cita apalagi yang ingin Anda wujudkan setelah dari semua yang Anda bangun selama ini? Kalau di perguruan tinggi kita kan mencoba memberikan contoh, dan kebetulan ini kegiatan terbesar yang kita lakukan. Ternyata kalau kita menerima mahasiswa masuk, banyak konsep berpikir yang salah yang ditanamkan di pendidikan sebelumnya. Di keluarga kita tidak bisa mempengaruhi karena itu hak masing-masing keluarga. Minimal yang di sekolah-sekolah di tingkat bawahnya. Yang paling mendasar dampak yang kita rasakan di perguruan tinggi adalah kemampuan bertanya. Waduh… mahasiswa yang berani bertanya… takut kan mereka bertanya? Karena ini budaya. Padahal budaya bertanya itu, kalau mereka bertanya mereka bisa explore segala macam. Minimal dia akan bertanya terus pada diri sendiri. Itu akhirnya kita berpikir, kita harus memberi contoh juga pada tingkat di bawahnya. Jadi kita akan mendirikan sekolah. Tapi model kita tidak akan berbentuk seperti yang sudah ada. Biar pun model ini kalau kita lihat layer kita masih pasang di layer atas. Karena kita belum berani pasang di layer bawah ditinjau dari segi ekonominya. Tapi suatu saat kita akan turun jugalah. Jadi kita masih pakai yah…menanamkan ini pada yang atas karena kita juga lagi belajar ya? Proses belajar kan harus berhasil? Jadi kita menanamnya di atas, mungkin pengalaman ini nanti akan coba kita turunkan sebagai model. Mudah-mudahan model ini tidak kalah di perguruan tinggi, secara cepat kalau ikut program lain. Kalau ini dilewati Indonesia akan bangun lebih cepat, kan? Hal apa yang paling memotivasi Anda untuk berkarya di bidang ini? Pada awal berdiri kita punya moto, bahwa kita ingin berperan membangun bangsa melalui pengetahuan. Namanya kebetulan juga Bina Nusantara. Itu pun nama yang diberikan kawan-kawan seperjuangan ayah di masa penjajahan. Dan itu menjadi spirit seluruh civitas akademik kita. Itulah kenapa dinamakan Bina Nusantara, karena kita punya cita- cita melalui pendidikan ini kita harus bisa berperan membangun bangsa Indonesia. Itu folosofi yang ditanamkan oleh penasihat kawan seperjuangan ayah. Pada awal mulai mereka juga bilang, "Jangan mengecewakan kami ya? Jika Anda mengundang kami, ikuti apa pun tujuan, visi. Jangan sampai Anda hanya pinjam nama tetapi tidak bertanggung jawab!" Itu yang selalu kita ingat. Memang masa itu waktu kita tumbuh, semua perguruan tinggi pakai nama leader ya…jenderal dan sebagainya. Kalau sekarang sudah hilang ya. Cuma saya bilang waktu itu, "Saya tidak akan pernah mencatut nama. Karena tidak ada gunanyalah nama-nama yang dipasang!" Iya, toh? Sampai hari ini kita tidak pernah pasang. Kalau spirit dari dalam Anda sendiri? Kalau visi dasar saya sebagai individu adalah bagaimana saya melayani banyak orang, sehingga mereka bisa berguna bagi negara dan bangsa ini. Yang menjadi panutan paling kuat bagi saya adalah Ibu Theresa. Sentuhan kemanusiaannya… Bagaimana Anda memaknai perjalanan hidup dan kesuksesan ini? Saya merasakan bahwa apa pun yang kita capai saat ini adalah bukan dari individu. Kadang-kadang saya berpikir bahwa Binus ini bukan milik saya, tapi Binus ini milik Tuhan yang dipercayakan kepada saya. Sehingga saya harus jaga baik-baik, sehingga ya tidak mengecewakan Pemiliknya…. Filosofi sebenarnya itu. Lebih mudah, kan? Dari pada kalau milik kita, kita bisa nggak tidur! Iya, kan? Kalau dibalik seperti itu, ini hanya milik Yang di Atas, kita hanya diberi kepercayaan, kan kita tinggal membagikan itu kepada kawan-kawan yang lain dan mereka rata-rata ikut setuju. Lebih enak lagi, kan? Sehingga gerakannya saya bilang, "Saya bukan tipe seorang pemimpin yang akan memonitor day to day apa yang kalian lakukan, tapi yang ingin saya tanamkan adalah bahwa pengawasnya bukan saya, pengawasnya adalah Pemiliknya". Lebih enak lagi, kan? []

No comments: